Sejarah dan Praktek Hukum Ekonomi Islam
Perkembangan
Praktik Ekonomi Islam
Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat
telah terjadi karena telah ada lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi
utama opersional perbankan, yakni:
- menerima simpanan uang;
- meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan musaqah;
- memberikan jasa pengiriman atau transfer uang.
Istilah-istilah fiqh di bidang ini pun muncul dan
diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan modern, seperti istilah qard
yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa Inggris credit dan istilah suq
jamaknya suquq yang dalam bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser menjadi
alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa Inggris dengan sedikit perubahan
menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini
dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga
Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan
fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di
zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi
saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan
oleh satu individu saja. Perbankan berkembang setelah munculnya beragam jenis
mata uang dengan kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian, diperluan
keahlian khusus bagi mereka yang bergelut di bidang pertukaran uang. Maka
mereka yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan jihbiz[20]
yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money
changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer
pada pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (908-932).[21] Sementara itu, suq (cek)
digunakan secara luas sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat
Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk
keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).[22]
Mengingat penting dan strategisnya institusi dan
sistem perbankan untuk menggerakan roda perekonomian, maka berbagai upaya
dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba
membuka bank non bunga, namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan
mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji
coba yang relatif sukses dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local
Saving Bank tahun 1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat
pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhenti karena masalah politik, yakni
intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil
alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa
rezim Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya
Nasser Social Bank. Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hinga
akhirnya berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975.[23] Kini
IDB memiliki lebih dari 43 kantor di negara anggotanya dengan Jedah menjadi
kantor pusatnya.
Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa
dipungkiri lagi adalah suatu ilmu yang tumbuh dan menjadi gerakan perekonomian
Islam sejak seperempat abad yang lalu. Namun demikian, pergeseran orientasi
dari pemikiran ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi
Khilafah tahun 1924[24] dan upaya menghidupkanya kembali yang gagal hingga
terbentuknya Organisasi Konfrensi Islam. Dengan kata lain, salah satu produk
penting yang menyertai kelahiran OKI adalah terpicunya pemikiran ekonomi Islam
menjadi gerakan perekonomian Islam. Gerakan itu ditandai dengan diselengarakan
Konfrensi Ekonomi Islam secara teratur. Pemantapan hati negara-negara anggota
OKI untuk mengislamisasi ekonomi negaranya masing-masing tumbuh setelah
Konferensi Ekonomi Islam III yang diselenggarakan di Islamabad Pakistan bulan
Maret 1983.[25] Hasilnya, sejumlah pemerintahan Islam sudah mendirikan
Departemen atau Fakultas Ekonomi Islam di universitas-universitas mereka,
bahkan sudah mulai meng-Islamkan lembaga pebankan mereka. Gerakan ekonomi syariah
adalah suatu upaya membentuk Sistem Ekonomi Islam (SEI) yang mencakup semua
aspek ekonomi sebagaimana didefinisikan oleh Umer Chapra dalam, The Future of
Economics. Namun demikian, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik
dengan konsep tentang sistem keuangan dan perbankan Islam.[26] Kecenderungan
ini dipengaruhi oleh beberapa factor berikut: Pertama, perhatian utama dan
menonjol para ulama dan cendekiawan Muslim adalah transaksi nonribawi sesuai
petunjuk Al-Quran dan Sunnah; kedua, peristiwa krisis minyak 1974 dan 1979 dan
keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi, untuk melakukan
embargo miyak sebagai senjata menekan Barat dalam menopang perjuangan
Palestina. Tindakan ini ternyata memiliki dua mata pisau. Pertama, Barat
menyadari kekuatan dunia Islam yang dapat mengancam kehidupan ekonomi Barat;
kedua, hasil penjualan minyak dunia Islam secara nyata telah melahirkan
kekuatan finansial negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara
dan Asia Tenggara. Negara-negara itu menjadi Negara petro dolar yang
menimbulkan pemikiran untuk “memutarkan” uang mereka melalui lembaga keuangan
syariah.
Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan
pemikiran di bidang ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan pembangunan SEI
semakin terpacu dan tumbuh disertai factor-faktor lain yang mendahuluinya,
yaitu: Pertama, telah terumuskannya konsep teoritis tentang Bank Islam pada
tahun 1940-an; Kedua, lahirnya ide dan gagasan mendidirikan Bank Islam dalam
Keputusan Konfrensi Negera-negara Islam se-Dunia bulan April 1968 di Kuala
Lumpur; ketiga, lahirnya negara-negara Islam yang melimpah petro dolarnya.
Maka, pendirian bank Islam menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun
1975.[27]
Konferensi Negara-negara Islam sedunia, 21-27
April 1969 memberi dampak positif berupa perkembangan bank Islam atau bank
syari’ah di berbagai negara yang ditengarai lebih dari 200 lembaga keuangan dan
investasi syari’ah yang berkembang sejak tahun 1975. Pada tahun tersebut,
perkembangan sistem ekonomi syari’ah secara empiris diakui dengan lahirnya
Islamic Development Bank (IDB).
Gerakan
Ekonomi Islam di Indonesia
Akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam
Indonesia tak bisa lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan
aktivitas ekonomi syariah di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua
franca. Menurut para pakar, mengapa bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara,
ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam
berbagai transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun
didominasi oleh orang Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu
memiliki banyak kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak
dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat
disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak dalam bentuk formal melainkan
telah berdifusi dengan kebudayaan Melayu sebagaimana terceriman dalam
bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus tentang institusi dan pemikiran
ekonomi syariah nampaknya belum ada yang meminatinya secara khusus dan serius.
Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk
penegakan syariah Islam dalam kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun
pernah lahir Piagam Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya
Islamisasi dalam pengertian penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah
surut.
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di
Indonesia akhir abad ke-20 lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan
dan perbankan syariah. Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang
dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu,
gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok
pesantren.[28] Gerakan koperasi yang belum sukses disusul dengan pendirian bank
syariah yang relatif sukses.[29] Walaupun lahirnya kedahuluan oleh
Philipina[30], Denmark[31], Luxemburgdan AS[32], akhirnya Bank Islam pertama di
Indonesia lahir dengan nama Bank Mu’amalat (1992). Kelahiran bank Islam di
Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor: 1) adanya
kepastian hukum perbankan yang melindunginya; 2) tumbuhnya kesadaran
masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan syariah; 3) dukungan
politik atau political will dari pemerintah. Akan tetapi, kelahiran bank
syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian lembaga-lembaga
pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen Bimbaga Islam
Depag RI melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan IAIN, penulis
pernah mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di Depag RI agar
mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan perkembangan ekonomi
syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah memilah jurusan
Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi dua, yakni Jurusan Muamalat
dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak
diimbangi dengan lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah
di Indonesia baru pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para
pelakunya secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika
transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank
konvensional hanya saja ada konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah
bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya
mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil
dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di
lain pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank
syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank
konvensional milik pemerintah.[33] Terlepas dari kekurangan dan kelebihan
perbankan syariah, yang pasti dan faktual adalah bahwa ia telah memberikan
konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi pergerakan roda perekonomian
Indonesia dan mengatasi krisis moneter.
Munculnya praktek ekonomi Islam di Indonesia pada
tahun 1990-an yang dimulai dengan lahirnya Undang-undang No. 10 Tahun 1992 yang
mengandung ketentuan bolehnya bank konvensional beroperasi dengan sistem bagi
hasil. Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen yang
melahirkan UU No 7 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang perbankan
syariah. Undang-undang ini mengawali era baru perbankan syari’ah di Indonesia,
yang ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syari’ah baru atau cabank
syari’ah pada bank konvensional. Maka praktek keuangan syari’ah di Indonesia
memerlukan panduan hukum Islam guna mengawal pelaku ekonomi sesuai dengan
tuntunan syari’at Islam. Perkembangan berikutnya, MUI sebagai payung dari
lembaga-lembaga organisasi keagamaan (Islam) di Tanah Air menganggap perlu
dibentuknya satu badan dewan syariah yang bersifat nasional (DSN) dan membawahi
seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Hal ini untuk
memberi kepastian dan jaminan hukum Islam dalam masalah perbankan syariah sejak
diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang
memberikan peluang didirikannya bank syariah.
DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005
telah banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah)
untuk menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan
syari’ah. Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu’amalah maliyah diyakini
menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-Quran
al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta menggunakan salah satu sumber
hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab,
dzari’ah, dan ‘urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan
mempelajari empat mazhab suni, yaitu imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan
kondisional. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam
dari segi metode perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons
masyarakat terhadap fatwa-fatwa itu.[34]
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama
Indonesia bersama kalangan pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah
bank syari’ah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya
mengacu pada No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998,
disahkan Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7
tahun 1992 tentang perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui
sebagai subsistem perbankan nasional.
Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya
lembaga keuangan syari’ah, pada tahun 1997 krisis ekonomi datang menerjang
memporak-porandakan sistem perbankan nasional. Sebagaimana diungkap oleh
Warkum, mulai bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999 pemerintah menutup 55
bank, mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu melakukan
rekapitalisasi. Pada Oktober 2001, sebagaimana laporan Majalah Investasi[1][1]
terjadi lagi satu bank konvensional yang dibekukan atau Bank Beku Kegiatan
Usaha (BBKU). Dari 240 bank sebelum krisis, kini hanya tinggal 73 bank swasta
yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah.[1][2]
Di antara lembaga keuangan syari’ah yang
berkembang secara pesat di tengah sistem perbankan yang sedang sakit adalah
antara lain bank syari’ah, BPRS dan BMT. Bank Syari’ah berkembang berdampingan
dengan bank-bank konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank
BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon
Syari’ah, BII Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan syari’ah
yang bersifat mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul
Maal wat-Tamwil).
DAFTAR PUSTAKA
Abu ‘Ubayd al-Qasim bn Sallam. 1981. Al-Amwa’l.
Beirut Libanon. Mu’assassat al-Nashir.
Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib
al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, t.t. al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr,
Beirut.
Adiwarman A. Karim, Refleksi dan Proyeksi Ekonomi
Islam Indonesia. Diakses dari
http://www.dilibrary.net/images/topics/Materi%20-%20Adiwarman.pdf. Tanggal 30
Januari 2007.
At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam:
Prinsip, Dasar dan Tujuan. (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004)
Cf. The Muqaddimah yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dri bhasaArab oleh Franz Rosenthal (3 jilid) diterbitkan oleh
Bollingen Foundation Inc., New York
Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang
Ekonomi, dalam Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan, IIIT
Indonesia, Jakarta, 2003
Fakta penerimaan kalangan santri, antara lain,
berdirinya Induk Koperasi Pondok Pesantren (INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996
oleh Puskopontren Jawa Barat, DKI, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Perkembangan Kopontren semakin menjamur setelah digulirkanya proyek P2KR
(Proyek Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu
Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), hal. 149. Penulis buku ini
menkompilasi dari Sumber M. Najatullah Siddiqi (1995), M. Aslam Hannaef (1995),
dan A. Karim (2001).
Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf.
Juhaya S Praja, al-Hisbah sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah dalam Mekanisme Pasar,
makalah disajikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan bersama oleh
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan BAPPEBTI
Deperindag RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.
Javed Ansari, Ekonomi Islam antar Neoklasik dan
Strukturalis: Laporan dari Islamabad dalam Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa
Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam, (Amrullh dkk., e.,) PLP2M,
Yogyakarta, 1985, hal. 100-111.
M Cholil Nafis. Corak Pemikiran Hukum Ekonomi
Islam di Indonesia. Diakses dari
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=245626&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=217
tanggal 30 Nov 2006.
Mah%mūd Abū Su’ūd, Khut%ut Ra’isiyyah fī al-Iqtis%ād
al-Islāmiyy, (Maktabat al-Manār al-Islāmiyyah, Kuwait,1968)
Muhammad Abdul Mannan. 1997. Teori dan Praktek
Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa.
Muhammad Abu Zahrah, Abu`Hani`fah, Cairo, Dar
al-Fikr al-‘Araby
Shobhi Mahmashani, al-Awza’i: Ta’limuhu
al-Insaniyyah wa al-Qa`nuniyyah, Beirut, Dar al- ‘Ilmli al-Mala’in, 1978
Sudin Haron, Islamic Banking: Rules and
Regulations, Pelanduk Publications, Petaling Jaya, 1997, h. 2. Sami Hassan
Hamoud, Progress of Islamic Bankin: the Aspirations and the Realities, Islamic
Economic Studies, vol 2 No.1. December 1994
Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan
Kedudukanya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal.
4-5 dengan mengutip berbagai sumber.
Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
[1] Marshal sebagaimana dikutip oleh Mah%mūd
Abū Su’ūd, Khut%ut
Ra’isiyyah fī al-Iqtis%ād al-Islāmiyy, (Maktabat al-Manār al-Islāmiyyah,
Kuwait,1968), hal. 56.
[2] Al-Qur’an Surat 28: ayat 77.
[2] Al-Qur’an Surat 28: ayat 77.
[3] At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi
Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan. (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004),
hal. 26
[4] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu
Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), hal. 149. Penulis buku ini
menkompilasi dari Sumber M. Najatullah Siddiqi (1995), M. Aslam Hannaef (1995),
dan A. Karim (2001).
[5] Ibid., hal. 5-7.
[6] Muhammad Abu Zahrah, Abu`Hani`fah, Cairo, Dar
al-Fikr al-‘Araby [nd]., hal. 404-410, 432-442, 539.
[7] Shobhi Mahmashani, al-Awza’i: Ta’limuhu
al-Insaniyyah wa al-Qa`nuniyyah, Beirut, Dar al- ‘Ilmli al-Mala’in, 1978, hal.
426, 314-318, 447.
[8] Muhammad Abu Zahrah, Ma`lik, Cairo, Dar
al-Fikr al-‘Araby, 1952, hal. 73-74, 335-383, 432.
[9] Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori
dan Praktek, h. 24
[10] al-Qadli AbuYusuf Ya’qub Ibrahim (112-182H),
Kitab al-Kharaj, Muhib al-Din al-Khatib, [nd.]
[11] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.]
Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbah sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah dalam
Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan
bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan
BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.
[12] Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 242-250.
[13] Abu ‘Ubayd al-Qasim bn Sallam
(157-224H/774-738M) dalam kitabnya, al-Amwa’l, Mu’assassat al-Nashir, Beirut,
Libanon, cet.i, 1981
[14] Zainal Abidin Ahmad, Dasar., hal.251-274.
[15] Ibid., hal. 275-300.
[16] Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib
al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, al-Ahka`m al-Sultha`niyyah, Dar al-Fikr,
Beirut [nd].
[17] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam,
[18] Cf. The Muqaddimah yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dri bhasaArab oleh Franz Rosenthal (3 jilid) diterbitkan
oleh Bollingen Foundation Inc., New York
[19] Adiwarman A. Karim, Refleksi dan Proyeksi
Ekonomi Islam Indonesia. Diakses dari
http://www.dilibrary.net/images/topics/Materi%20-%20Adiwarman.pdf. Tanggal 30
Januari 2007.
[20] Istilah jihbiz mulai dikenal pada masa
Muawiyah (661-680M). Istilah ini dipinjam dari bahasa Persia kahbad atau
kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah jihbiz digunakan untuk orang
yang melaksanakan fungsi dan tugas mengumpulkan pajak tanah.
[21] Pada masa ini setiap wazir (menteri)
mempunyai bankirnya masing-masing. Misalnya: Ibnu Furat menunjuk Harun Ibnu
Imran dan Josep Ibnu Wahab sebagai bankirnya.
[22] Sudin Haron, Islamic Banking: Rules and
Regulations, Pelanduk Publications, Petaling Jaya, 1997, h. 2. Sami Hassan
Hamoud, Progress of Islamic Bankin: the Aspirations and the Realities, Islamic
Economic Studies, vol 2 No.1. December 1994, h. 71-80
[23] Bank ini menyediakan bantuan finansial bagi
negera-negara anggotanya; membantu mereka untuk mendirikan bank Islam di negara
masing-masing; memainkan pernan penting dalam penelitian ilmu ekonomi,
perbankan dan keuangan Islam.
[24] Pasca Perang Dunia II berakahir banyak
pemuda mahasiswa Muslim belajar ekonomi di Barat sehingga mereka mendapat
wawasan ekonomi yang luas. Menyadari hal itu mereka berupaya menghidupkan
kembali prinsip, nilai, norma dan hukum ekonomi Islami untuk kemudian mereka
berusaha untuk mengaplikasikannya di tanah air mereka.
[25] Javed Ansari, Ekonomi Islam antar Neoklasik
dan Strukturalis: Laporan dari Islamabad dalam Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa
Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam, (Amrullh dkk., e.,) PLP2M,
Yogyakarta, 1985, h. 100-111.
[26] Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di
Bidang Ekonomi, dalam Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan,
IIIT Indonesia, Jakarta, 2003
[27] Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan
Kedudukanya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal.
4-5 dengan mengutip berbagai sumber.
[28] Fakta penerimaan kalangan santri, antara
lain, berdirinya Induk Koperasi Pondok Pesantren (INKOPONTREN) di Jakarta tahun
1996 oleh Puskopontren Jawa Barat, DKI, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Perkembangan Kopontren semakin menjamur setelah digulirkanya proyek P2KR
(Proyek Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998
[29] Ketika terjadi krisis moneter di tnah air,
sejumlah Bank Perkreditan Rakyat milik PEMDA Jabar banyak yang mati (70-80%).
Akan tetapi, BPRS yang beroperasi di Jawa Barat, walaupun ada yang mati,
tingkat kematianya jauh lebih rendah dari BPR konvensional, yakni kurang dari
50%. Ini berarti BPRS lebih dapat bertahan dan berkompetisi dari dan dengan BPR
konvensional
[30] Bank amanah berdiri di Pilipina 1987 di
negeri sekuler yang penduduk Muslimnya minoritas.
[31] Bank Islam pertama yang berdiri di Eropa,
yakni Denmark (1983) dan di negeri sekuler adalah The Islamic Bank
International of Denmark. Kini bank-bank besar dari Negara-negara Barat seperti
Citibank, ANZ Bank, Chase Manahathan Bank dan Jardine Fleming telah membuka
Islamic Window dalam rangka melayani perbankan sesuai dengan syariat Islam.
[32] Muslim Saving and Investment berdiri tahun
1987 di Los Angelos, California.
[33] Data diperoleh dari nasabah dan investigasi
penulis terhadap Bank Syariah Lembur Kuring (nama samaran)
[34] M Cholil Nafis. Corak Pemikiran Hukum
Ekonomi Islam di Indonesia. Diakses dari
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=245626&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=217
tanggal 30 Nov 2006.
Komentar
Posting Komentar