PANDANGAN NON MUSLIM TERHADAP BANK SYARIAH
Perkembangan industri keuangan syariah di dunia terlihat
begitu pesat. System dan industri keuangan syariah tidak lagi menjadi isu local
yang sifatnya terbatas ada diantara negara-negara muslim saja, tetapi juga
telah menjadi trend global dimana negara-negara non-muslim sudah mengambil
posisi dan inisiatif untuk mengadopsi serta mengembangkan system sekaligus
industri keuangan syariah ini. Negara-negara yang memiliki industri keuangan terkemuka
seperti Inggris, Prancis, Jepang, Hongkong dan Singapura terlihat
berlomba-lomba untuk menjadikan negara mereka sebagai pusat keuangan syariah,
baik di dunia maupun di kawasan regional. Bahkan lembaga-lembaga keuangan dunia
seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF) telah pula menyatakan
bahwa pengembangan keuangan syariah telah menjadi salah satu program utama
mereka.
Pada
dasarnya, fungsi bank, baik bank konvensional maupun bank syariah dalam
menjalankan kegiatannya adalah sama. Sebagai lembaga keuangan
intermediasi (intermediary financial institution), kedua bank ini sama-sama
mengumpulkan dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkan kembali
dana-dana yang terkumpul tersebut kepada masyarakat dalam bentuk
pembiayaan. Meskipun mempunyai fungsi yang sama, ada hal prinsip yang membedakan keduanya. Bank syariah
dalam menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip bagi untung dan
rugi (profit and loss sharing principle) dan tidak memberikan
bunga (interest free). Adapun bank
konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan pada bunga (interest).
Karena
bank syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan pada prinsip syariah, maka sebagian orang akan
berpandangan bahwa bank syariah ini identik dengan Islam dan
umat Islam. Dengan kata lain, bank syariah hanya diperuntukkan kepada
orang-orang yang beragama Islam saja, sedangkan agama lain [non-Muslim] tidak
bisa bertransaki di dalamnya. Pandangan ini tentu keliru dan perlu diluruskan.
Kalau dikatakan bank syariah itu identik dengan Islam, hal itu memang benar
adanya, karena ketika kita berbicara tentang syariah, maka secara otomatis
akan bicara tentang Islam. Keduanya merupakan satu kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan.
Namun,
yang perlu dipahami, bank syariah tidak terkait
sama sekali dengan ritual keagamaan atau peribadatan dari agama Islam. Bank
syariah, dalam menjalankan kegiatannya, tidak terbatas hanya untuk orang yang
beragama Islam saja, tapi juga terbuka bagi non-Muslim. Dengan kata lain, bank
syariah bisa memberikan pembiayaan atau jasa kepada non-Muslim. Kaum non-Muslim
bisa menabung, meminta pembiayaan, dan/atau menggunakan jasa bank syariah,
bahkan bisa bekerja di sana. Pada saat sekarang ini, perbankan syariah tumbuh
dengan pesat di seluruh dunia, tidak hanya di negara Islam/mayoritas
berpenduduk Muslim, namun juga di negara-negara yang
bukan Islam, seperti Amerika Serikat, Singapura, dan Britania Raya
(United Kingdom), dll. Bahkan, Britania Raya pada saat ini bertekad
menjadi pusat keuangan dan perbankan syariah di dunia. Perbankan dan keuangan
syariah berkembang pesat di sana, padahal bukan negara Islam. Begitu juga
dengan Singapura, yang bertekad menjadi pusat keuangan
syariah di dunia dengan memperlonggar peraturan-peraturan terkait perbankan
syariah sehingga bisa berkembang dengan pesat.
Di Malaysia,
hampir 15 persen nasabah bank syariah adalah non-Muslim. Hal ini
mengindikasikan secara jelas bahwa bank syariah tidak hanya untuk orang yang
beragama Islam saja. Oleh karena itu, bagi Muslim dan non-Muslim, yang masih
penasaran dengan bank syariah, silahkan mulai berhubungan dengan bank syariah,
misalnya menabung. Tanyakan secara detail segala fasilitas yang
dapat dimanfaatkan dari layanan bank syaraiah ini, sehingga bisa
sekaligus membedakan antara bank syariah dan bank konvensioanl. (“Apakah Bank Syariah hanya untuk muslim?” Ditulis
Abdul Rasyid Jnauari 2015)
Bank
Syariah Menurut Rodney Wilson
Rodney Wilson adalah direktur
pascasarajana Institute for Middle Eastern and Islamic Studies, Durham
University. Ia adalah salah seorang editor buku The Politics of Islamic Finance
and co-author of Islamic Economics: A Short History.
Menurutnya hasil penelitian yang
ditulisnya di laman www.commongroundnews.org.
Menyatakan bahwa perbankan Islam, yang mengisyaratkan penolakan terhadap bunga,
telah menjadi sebuah industri penting dalam empat dekade terakhir. Satu
pertanyaan tak terelakkan adalah apakah kehadirannya semakin menjauhkan kaum
Muslim dari berbagai nilai dan norma Barat, menciptakan sebuah perkampungan
keuangan tersendiri. Sebuah pandangan alternatif menyatakan bahwa dengan
semakin meningkatnya jumlah orang di Barat yang tidak puas atau skeptis tentang
layanan-layanan perbankan yang mereka terima, dan melihat bank-bank tersebut
sebagai pemeras atau bahkan tidak etis, kemunculan perbankan Islam dengan moralitas
yang berbeda menghasilkan Islam dengan cerminan wajah yang lebih positif.
Banyak bankir Barat memandang keuangan
Islam sebagai sebentuk rasa keingintahuan, dan bahkan mungkin sebuah peluang
bisnis, tetapi jarang yang melihatnya sebagai sebuah ancaman yang dapat
dibandingkan dengan ekstremisme Muslim. Kenyataannya, perbankan dan keuangan
Islam dapat dianggap sebagai sisi lembut Islam, dan sebuah aspek yang
meminjamkan dirinya sendiri bagi sebuah dialog antara orang Barat dan Muslim.
Lembaga-lembaga keuangan retel Islam, termasuk Islamic Bank of Britain, the European Islamic Investment Bank dan Lariba Bank di Kalifornia, saat ini telah tegak berdiri di sejumlah negara Barat. Lebih jauh, bank-bank pemberi pinjaman internasional, termasuk Citibank, HSBC Amanah, Deutsche Bank, dan UBS of Switzerland, semua menawarkan deposito Islam dan fasilitas-fasilitas keuangan yang memenuhi ketentuan syariah.
Lembaga-lembaga keuangan retel Islam, termasuk Islamic Bank of Britain, the European Islamic Investment Bank dan Lariba Bank di Kalifornia, saat ini telah tegak berdiri di sejumlah negara Barat. Lebih jauh, bank-bank pemberi pinjaman internasional, termasuk Citibank, HSBC Amanah, Deutsche Bank, dan UBS of Switzerland, semua menawarkan deposito Islam dan fasilitas-fasilitas keuangan yang memenuhi ketentuan syariah.
Ada banyak dialog terjadi antara para bankir Barat yang bekerja pada lembaga-lembaga ini dan para ahli syariah yang menyarankan apa yang boleh, dan apa yang tidak, dilakukan. Dialog ini meluas hingga asuransi, di mana perusahaan-perusahaan takaful Islam semakin lama semakin aktif, ciri-ciri mereka yang khas adalah bahwa mereka tidak menganut bunga yang dihasilkan surat-surat obligasi konvensional, dan bahwa dana para pemegang saham dan premi yang dibayar para pemegang polis tersebut tidak dapat dijadikan satu, yang dapat menyebabkan pihak pertama mengeksploitasi kemalangan pihak kedua.
Karena syariah merupakan hal yang universial, prinsip-prinsip illahiah, bukan hukum nasional, kantor-kantor hukum internasional terkemuka juga ikut melibatkan diri dalam urusan perbankan dan keuangan Islam, hanya saja kontrak-kontrak yang ada perlu dirancang di bawah payung hukum Inggris atau Amerika dengan tetap memelihara kesesuaian dengan syariah. Memang, pekerjaan utama para anggota komite syariah yang melayani dewan direksi bank-bank Islam dan konvensional yang menawarkan produk-produk Islam adalah untuk memastikan bahwa kontrak-kontrak baru tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan, jika tidak, melakukan dialog dengan para pengacara berkaitan dengan amandemen dan perancangan ulang.
Aspirasi dari banyak pihak Islamis adalah memiliki hukum syariah yang illahiah menggantikan hukum buatan manusia, bahkan mungkin pendirian suatu khalifah dunia yang di bawah kekuasaannya semua orang, Muslim dan non-Muslim, hidup. Tidak mengherankan, aspirasi seperti itu tidak dapat diterima oleh kebanyakan non-Muslim, dan bahkan juga banyak umat muslim, karena ia tidak memberikan pilihan.
Perbankan dan keuangan Islam dapat menentukan arah masa depan: ia memberikan pilihan yang luas, bukannya terbatas. Sementara setiap lembaga memiliki dewan syariahnya masing-masing, kesesuaian dengan syariah pada kenyataannya merupakan urusan pihak swasta, bukan urusan hukum nasional. Bahkan, setiap dewan syariah memiliki fatwa-fatwanya sendiri, yang akibatnya semakin memperluas pilihan dalam pasar gagasan keagamaan. Agama, pasti, berkembang dalam kondisi penuh persaingan dan Islam bukan sebuah pengecualian, sementara jika ia dinasionalisasi, para penganutnya tidak lama akan menjadi terasingkan.
Republik Islam Iran dapat dilihat sebagai sebuah contoh yang tidak mendorong perkembangan perbankan dan keuangan Islam. Di sana, semua perbankan telah memenuhi ketentuan syariah sejak undang-undang mengenai Perbankan Bebas Riba diundangkan pada 1983. Para nasabah bank karenanya tidak memiliki pilihan kecuali menggunakan sistem syariah. Namun bank-bank tersebut dimiliki oleh negara dan memiliki otonomi yang kecil, bahkan dalam pengambilan keputusan tentang produk-produk deposito dan keuangan yang hendak ditawarkan. Mereka juga tidak memiliki komite-komite syariah, alasannya hal ini tidak diperlukan karena undang-undang memastikan kepatuhan terhadap syariah dalam keadaan apapun.
Hasilnya adalah perkembangan perbankan berjalan lambat, sedikitnya terobosan keuangan yang ada, dan kebanyakan rakyat Iran tidak memiliki rekening bank. Sebaliknya, di wilayah Teluk Arab dan di Malaysia, di mana bank-bank Islam dan konvensional bersaing, bank-bank Islam memiliki produk-produk yang menarik untuk ditawarkan dan jumlah nasabah yang terus tumbuh. Bank Al Rajhi Arab Saudi telah menjadi bank retel Islam terbesar, dan jangkauan layanan dan saluran pengirimannya dapat disejajarkan dengan penawaran terbaik yang dapat di berikan oleh bank-bank Barat.
Perbankan Islam tidak akan kemana-mana, ia merupakan sebuah peluang daripada sebuah ancaman, dan memiliki masa depan yang menggairahkan. Kesenjangan tetap ada – tidak ada bank Islam di Israel, misalnya, untuk melayani penduduk muslim di sana. Tetapi jika Bank Sentral Israel memberi izin bagi pendiriannya, ia dapat membawa banyak kebaikan. Ia mungkin mendorong penduduk Yahudi yang hidup di sana mempertanyakan apakah pengoperasian bank-bank mereka sendiri telah sesuai dengan ajaran keagamaan dalam Leviticus dan Deuteronomy.
Akhirnya perbankan dan keuangan Islam berkaitan dengan kemunculan sebuah bentuk kapitalisme yang khas Islam yang mungkin hidup berdampingan dan berinteraksi dengan Barat, Cina, Rusia atau kapitalisme lainnya. Perkembangan seperti ini seharusnya disambut hangat dan diberi peluang, dan bukannya dihambat atau ditekan.
by ridwan munir (dari berbagai
sumber)
Komentar
Posting Komentar