PENGERTIAN BISNIS SYARIAH
PENGERTIAN
BISNIS SYARIAH
Secara
bahasa, Syariat (al-syari’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-ma’ li al
istisqa) atau jalan lurus (at-thariq al-mustaqîm). Sedang secara istilah
Syariah bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt melalui
Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah
ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi sesama
manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.
Menurut
Syafi’I Antonio, syariah mempunyai keunikan tersendiri, Syariah tidak saja
komprehensif, tetapi juga universal. Universal bermakna bahwa syariah dapat
diterapkan dalam setiap waktu dan tempat oleh setiap manusia. Keuniversalan ini
terutama pada bidang sosial (ekonomi) yang tidak membeda-bedakan antara
kalangan Muslim dan non-Muslim. (Syariah Marketing, Hal. 169). Dengan mengacu
pada pengertian tersebut, Hermawan Kartajaya dan Syakir Sula memberi pengertian
bahwa Bisnis syariah adalah bisnis yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan
dan penghormatan atas hak masing-masing. (Syariah Marketing, hal. 45).
Pengertian yang hari lalu cenderung normatif dan terkesan jauh dari kenyataan
bisnis kini dapat dilihat dan dipraktikkan dan akan menjadi trend bisnis masa
depan
.
PRINSIP
DASAR DAN ETIKA DALAM BISNIS SYARI’AH
Ada empat
prinsip (aksioma) dalam ilmu ikonomi Islam yang mesti diterapkan dalam bisnis
syari’ah, yaitu: Tauhid (Unity/kesatuan), Keseimbangan atau kesejajaran
(Equilibrium), Kehendak Bebas (Free Will), dan Tanggung Jawab
(Responsibility).[1]
Tauhid
mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah selaku Tuhan semesta
alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini
bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak dan absolut atas semua
yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala aktifitas khususnya dalam muamalah
dan bisnis manusia hendaklah mengikuti aturan-aturan yang ada jangan sampai
menyalahi batasan-batasan yang telah diberikan.
Keseimbangan
atau kesejajaran (Equilibrium) merupakan konsep yang menunjukkan adanya
keadilan sosial. Kehendak bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai suatu
potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan manusia
tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia
haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia yaitu sebagai
khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan
kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
Tanggung Jawab
(Responsibility) terkait erat dengan tanggung jawab manusia atas segala
aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga tanggung jawab kepada manusia
sebagai masyarakat. Karena manusia hidup tidak sendiri dia tidak lepas dari
hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung
jawab kepada Tuhan tentunya diakhirat, tapi tanggung jawab kepada manusia
didapat didunia berupa hukum-hukum formal maupun hukum non formal seperti
sangsi moral dan lain sebagainya.
Sementara
menurut Beekun terdapat 5 aksioma dalam ekonomi islam. Sebagai yang kelima
adalah benovelence atau dalam istilah lebih familiar dikenal dengan Ihsan.[2]
Ihsan adalah kehendak untuk melakukan kebaikan hati dan meletakkan bisnis pada
tujuan berbuat kebaikan. Kelima prinsip tersebut secara operasional perlu
didukung dengan suatu etika bisnis yang akan menjaga prinsip-prinsip tersebut
dapat terwujud.
Etika bisnis
syari’ah
Etika
dipahami sebagai seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia (a code or set
of principles which people live). Berbeda dengan moral, etika merupakan
refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk.
Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian
kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk dan apa alasan pikirnya, merupakan
lapangan etika. Perbedaan antara moral dan etika sering kabur dan cendrung
disamakan. Intinya, moral dan etika diperlukan manusia supaya hidupnya teratur
dan bermartabat. Orang yang menyalahi etika akan berhadapan dengan sanksi
masyarakat berupa pengucilan dan bahkan pidana.Bisnis merupakan bagian yang tak
bisa dilepaskan dari kegiatan manusia. Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi
manusia, bisnis juga dihadapkan pada pilihan-pilihan penggunaan factor
produksi. Efisiensi dan efektifitas menjadi dasar prilaku kalangan pebisnis.
Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi
tidak begitu mendapat tempat. Ekonom klasik banyak berkeyakinan bahwa sebuah
bisnis tidak terkait dengan etika. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung
jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Atas nama
efisiensi dan efektifitas, tak jarang, masyarakat dikorbankan, lingkungan rusak
dan karakter budaya dan agama tercampakkan.
Perbedaan
etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian
ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat).
Prinsip ini dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah
memiliki dua cakupan. Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan
memiliki manajemen internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan,
perlakuan yang manusiawi dan tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan
kedua, cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran
dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan
aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan.
Abdalla
Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business Administration di Mankata State
Univeristy menambahkan cakupan berupa nilai ketulusan, keikhlasan berusaha,
persaudaraan dan keadilan. Sifatnya juga universal dan bisa dipraktekkan siapa
saja. Etika bisnis syariah bisa diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan
dengan orientasi yang tidak hanya pada keuntungan perusahaan namun juga
bermanfaat bagi masyarakat dalam arti sebenarnya. Pendekatan win-win solution
menjadi prioritas. Semua pihak diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas”
seperti menipu masyarakat atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang
rangkap dan lain-lain. Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan
manusia dan bukan mencari musuh. Jika dikaitkan dengan pertanyaan di awal
tulisan ini, apakah etika bisnis syariah juga bisa meminimalisir keuntungan
atau malah merugikan ?. Jawabnya tergantung bagaimana kita melihatnya. Bisnis
yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah seperti
pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme
cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
Etika yang
diabaikan bisa membuat perusahaan kehilangan kepercayaan dari masyarakat bahkan
mungkin dituntut di muka hukum. Manajemen yang tidak menerapkan nilai-nilai
etika dan hanya berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu
bertahan (survive) dalam jangka panjang. Jika demikian, pilihan berada di
tangan kita. Apakah memilih keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan etika
atau memilih keuntungan jangka panjang dengan komit terhadap prinsip-prinsip
etika –dalam hal ini etika bisnis syariah.
CIRI KHAS
BISNIS SYARI’AH
Bisnis
syariah merupakan implementasi/perwujudan dari aturan syari’at Allah.
Sebenarnya bentuk bisnis syari’ah tidak jauh beda dengan bisnis pada umumnya,
yaitu upaya memproduksi/mengusahakan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan
konsumen. Namun aspek syariah inilah yang membedakannya dengan bisnis pada
umumnya. Sehingga bisnis syariah selain mengusahakan bisnis pada umumnya, juga
menjalankan syariat dan perintah Allah dalam hal bermuamalah. Untuk membedakan
antara bisnis syariah dan yang bukan, maka kita dapat mengetahuinya melalui
ciri dan karakter dari bisnis syariah yang memiliki keunikan dan ciri
tersendiri. Beberapa cirri itu antara lain:
1. Selalu
Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah. Nilai ruhiyah adalah kesadaran setiap
manusia akan eksistensinya sebagai ciptaan (makhluq) Allah yang harus selalu
kontak dengan-Nya dalam wujud ketaatan di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada
tiga aspek paling tidak nilai ruhiyah ini harus terwujud , yaitu pada aspek :
(1) Konsep, (2) Sistem yang di berlakukan, (3) Pelaku (personil).
2. Memiliki
Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram. Seorang pelaku bisnis
syariah dituntut mengetahui benar fakta-fakta (tahqiqul manath) terhadap
praktek bisnis yang Sahih dan yang salah. Disamping juga harus paham
dasar-dasar nash yang dijadikan hukumnya (tahqiqul hukmi).
3. Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi. Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material.
4. Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat. Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan, memang berupa harta.
5. Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya. Namun lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya. Untuk mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika bisnis atau apapun yang kita lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.
3. Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi. Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material.
4. Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat. Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan, memang berupa harta.
5. Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya. Namun lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya. Untuk mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika bisnis atau apapun yang kita lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.
Jika semua
hal diatas dimiliki oleh seorang pengusaha muslim, niscaya dia akan mampu
memadukan antara realitas bisnis duniawi dengan ukhrowi, sehingga memberikan
manfaat bagi kehidupannya di dunia maupun akhirat. Akhirnya, jadilah kaya yang
dengannya kita bisa beribadah di level yang lebih tinggi lagi.
AKAD DALAM
BISNIS SYARIAH
Dalam setiap
transaksi islami, akan memegang peranan yang sangat penting. Akad ibaratnya
sebuah dinding yang sangat tipis dan dengannya terpisah antara yang sah dan
tidak. Secara bahasa, akad atau perjanjian itu digunakan untuk banyak arti,
yang keseluruhannya kembali kepada bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua
hal. Sementara akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan
keinginan orang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang
disyariatkan. Terkadang kata akad dalam istilah dipergunakan dalam pe-ngertian
umum, yakni sesuatu yang diikatkan seseorang bagi diri-nya sendiri atau bagi
orang lain dengan kata harus. Di antaranya adalah firman Allah : “Wahai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad kalian.” Jual beli dan sejenisnya
adalah akad atau perjanjian dan kesepakatan. Setiap hal yang diharuskan
seseorang atas dirinya sendiri baik berupa nadzar, sumpah dan sejenisnya,
disebut sebagai akad.
Rukun-Rukun
Akad/Perjanjian
Akad
memiliki tiga rukun, yaitu: Adanya dua orang atau lebih yang saling terikat
dengan akad, adanya sesuatu yang diikat dengan akad, serta pengucapan
akad/perjanjian tersebut.[5]
1. Dua Pihak atau lebih yang Saling
Terikat Dengan Akad
Dua orang
atau lebih yang terikat dengan akad ini adalah dua orang atau lebih yang secara
langsung terlibat dalam per-janjian. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki
kemam-puan yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, sehingga perjanjian
atau akad tersebut dianggap sah. Kemampuan tersebut terbukti dengan beberapa
hal berikut:
Pertama:
Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihak-pihak
tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang
tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan
perjanjian.
Kedua:
Pilihan. Tidak sah akad yang dilakukan orang di bawah paksaan, kalau paksaan
itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan butuh pengalihan hutangnya,
atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi
hutangnya.
Kemudian
ketiga, akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total) bila tidak memiliki
pengandaian yang disebut khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih
menetapkan persyaratan), khiyar ar-ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan
sejenisnya.
2. Sesuatu
yang Diikat Dengan Akad
Yakni barang
yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa
dan sejenisnya. Dalam hal itu juga ada beberapa persyaratan sehingga akad
tersebut dianggap sah, yakni sebagai berikut:
· Barang
tersebut harus suci atau meskipun terkena najis, bisa dibersihkan. Oleh sebab
itu, akad usaha ini tidak bisa diber-lakukan pada benda najis secara dzati,
seperti bangkai. Atau benda yang terkena najis namun tidak mungkin dihilangkan
najisnya, seperti cuka, susu dan benda cair sejenis yang terkena najis. Namun
kalau mungkin dibersihkan, boleh-boleh saja.
· Barang tersebut
harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan. Karena fungsi legal dari
satu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Segala komoditi
yang tidak berguna seperti barang-barang rongsokan yang tidak dapat
dimanfaatkan. (Yang perlu diingat di sini, bahwa satu barang dikatakan
bermanfaat atau tidak, itu bisa berubah melalui perkembangan zaman. Sampah
misalnya, dahulu dianggap sebagai barang rongsokan yang tidak dapat
dimanfaatkan. Namun dalam kehidupan modern kita sekarang ini, sampah dapat
digunakan dalam produksi pupuk dan sejenisnya. Maka komoditi ini tidak lagi
dianggap sebagai barang rongsokan) Atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang
diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat
diperjualbelikan.
· Komoditi
harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada
tapi tidak bisa diserahterimakan. Karena yang demikian itu termasuk menyamarkan
harga, dan itu dilarang.
· Barang
yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan.
Barang yang tidak bisa dimiliki tidak sah diperjualbelikan.
· Harus
diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan
barang-barang yang dijual lang-sung. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan
kriterianya apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak
berada di lokasi transaksi. Bila barang-barang itu dijual langsung, harus
diketahui wujudnya, seperti mobil tertentu atau rumah tertentu dan sejenisnya.
Namun kalau barang-barang itu hanya dalam kepemilikan seperti jual beli
sekarang ini dalam akad jual beli as-Salm, di mana seorang pelanggan membeli
barang yang diberi gambaran dan dalam kepemilikan penjual, maka disyaratkan
ha-rus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ
أَسْلَمَ فَلْيُسْلِمْ فيِ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ
مَعْلُوْمٍ
“Barangsiapa
yang melakukan jual beli as-Salm hendaknya ia memesannya dalam satu takaran
atau timbangan serta dalam batas waktu yang jelas.”
KERJASAMA
(SYIRKAH) DALAM BISNIS SYARI’AH
Bisnis
syari’ah sebagaimana bisnis pada umumnya yang dibangun atas kerjasama berbagai
pihak dalam mengembangkan usahanya. Namun kerjasama dalam bisnis syari’ah tidak
hanya dibangun atas dasar keuntungan dan pertimbangan aspek duniawiyah saja,
namun juga dibangun atas dasar keridhoan Allah. Keridhoan Allah diperoleh
melalui implementasi prinsip-prinsip syariah dalam melaksanakan kerjasama
bisnis.
Kerjasama
dalam Islam disebut dengan istilah syirkah. Kata syirkah dalam bahasa Arab
secara terminologis berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il
mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi
sekutu atau serikat. Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca
syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib
al-Arba’ah, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).[6] Sedangkan secara
etimologis, syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa
sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya.[7]
Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau
lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan.
Hukum Dan
Rukun Syirkah
Syirkah
hukumnya jaiz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw berupa taqrîr
(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi,
orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara bersyirkah dan Nabi Saw
membenarkannya. Nabi Saw bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:
Allah ‘Azza
wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang
ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah
satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan
ad-Daruquthni).
Rukun
syirkah yang pokok ada 3, yaitu: (1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
(2) dua pihak yang berakad (‘aqidani), syaratnya harus memiliki kecakapan
(ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta); (3) obyek akad (mahal),
disebut juga ma’qud ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal
(mal).[8] Adapun syarat sah akad ada 2, yaitu: (1) obyek akadnya berupa
tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad,
misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar
keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarik (mitra usaha).[9]
Macam-Macam
Syirkah
Menurut
An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan
dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah
inan; (2) syirkah abdan; (3) syirkah mudharabah; (4) syirkah wujuh; dan (5)
syirkah mufawadhah.[10] An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah
yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan
ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.
Menurut
ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inan, abdan,
mudharabah, dan wujuh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam,
yaitu: syirkah inan, abdan, dan mudharabah. Menurut ulama Syafi’iyah,
Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inan dan mudharabah.[11]
Syirkah Inan
Syirkah inan
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi
konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh
berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat. Contoh syirkah inan: A dan B
insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan
membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal
sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam
syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqud); sedangkan barang
(‘urudh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah,
kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qimah al-‘urudh) pada saat akad.
Keuntungan
didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing
mitra usaha (syarik) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing
modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan
oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jami’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah
berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan
didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”[12]
Syirkah
‘Abdan
Syirkah
‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mal).
Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek
atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu,
sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). Syirkah ini disebut juga syirkah
‘amal. Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama
untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual,
hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar
40%.
Dalam
syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh
berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang
kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan
merupakan pekerjaan halal dan tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya,
beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan. Keuntungan yang diperoleh dibagi
berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di
antara mitra-mitra usaha (syarik). Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan
dalil as-Sunnah.[13]
Ibnu Mas’ud
ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin
Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua
orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” Hal itu
diketahui Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau. (HR.
Abu Dawud dan al-Atsram).
Syirkah
Mudharabah
Syirkah
mudharabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu
pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan
konstribusi modal (mal). Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan
ulama Hijaz menyebutnya qiradh. Contoh: A sebagai pemodal (shahib al-mal / rabb
al-mal) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai
pengelola modal (‘amil/ mudharib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha
toko kelontong).
Ada dua
bentuk lain sebagai variasi syirkah mudharabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A
dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (sebut
saja C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A)
memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua
(misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua
bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudharabah.[14]
Hukum
syirkah mudharabah adalah ja’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrir
Nabi Saw) dan Ijma Sahabat. Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf
hanyalah menjadi hak pengelola (mudharib/‘amil). Pemodal tidak berhak turut
campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat
yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada
keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal,
sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudharabah
berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung
kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadany.[15] Namun
demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena
kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh
pemodal.[16]
Syirkah
Wujuh
Syirkah
wujuh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam. Disebut syirkah wujuh karena
didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah
masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama
memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang
memberikan konstribusi modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh
masyarakat. Syirkah semacam ini menurut An Nabhani termasuk dalam syirkah
mudharabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya.
Bentuk kedua
syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam
barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada
keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak. Misal: A dan B
adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujuh, dengan
cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B
bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya
menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya
dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam
syirkah wujuh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang
dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Menurut An Nabhani
Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan.[17]
Hukum kedua
bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk
syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah
mudharabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat
Islam.
Namun demikian,
An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah
wujuh adalah kepercayaan finansial (tsiqah maliyah), bukan semata-semata
ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan
seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal
tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah
syirkah wujuh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para
pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah maliyah) yang
tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.
Syirkah
Mufawadhah
Syirkah
mufawadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua
jenis syirkah di atas (syirkah inan, ‘abdan, mudharabah, dan wujuh).[18]
Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh.
Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula
ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya.
Keuntungan
yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai
porsi modal (jika berupa syirkah inan), atau ditanggung pemodal saja (jika
berupa syirkah mudharabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan
persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujuh).
Contoh: A
adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil,
yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B
dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara
kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal
ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat
masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu,
ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga
terwujud syirkah mudharabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C
sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan
konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inan
di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujuh antara B
dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua
jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufawadhah.
Komentar
Posting Komentar