PERILAKU ORANG BERHUTANG DALAM PERSPEKTIF ISLAM
PERILAKU ORANG BERHUTANG DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Lebih baik pergi tidur tanpa makan malam daripada bangun
tidur dengan hutang. Begitulah kata-kata dari seorang negarawan sekaligus ahli
fisika dari Amerika Serikat, Benjamin Franklin. Terutama bagi Anda selaku
muslim, perlu mengetahui hukum membayar
hutang. Hutang akan menjadi suatu hal salah dan
menyebabkan dosa karena menyangkut hak dan harta milik orang lain.
Islam
adalah agama yang mulia. Islam telah mengatur seluruh permasalahan di dalam
kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya adalah permasalahan
hutang-piutang. Islam tidak hanya membolehkan seseorang berhutang kepada
orang lain, tetapi Islam juga mengatur adab-adab dan aturan-aturan dalam
berhutang.
Hukum
Berhutang
Hukum
asal dari berhutang adalah boleh (jaa-iz). Allah subhaanahu
wa ta’aala menyebutkan sebagian adab berhutang di dalam Al-Qur’an.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ }
“Hai
orang-orang yang beriman! Apabila kalian ber-mu’aamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS
Al-Baqarah: 282)
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah berhutang. Di akhir hayat beliau, beliau
masih memiliki hutang kepada seorang Yahudi, dan hutang beliau dibayarkan
dengan baju besi yang digadaikan kepada orang tersebut.
Diriwayatkan
dari ‘Aisyah radhiallaahu’anhaa, bahwasanya dia berkata:
( أَنَّ النَّبِيَّ –صلى الله عليه وسلم– اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ فَرَهَنَهُ دِرْعَهُ )
“Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai,
kemudian beliau menggadaikan baju besinya” (HR Al-Bukhari no. 2200)
Kebiasaan
Sering Berhutang
Akan
tetapi, banyak kaum muslimin yang menganggap remeh hal ini. Mereka merasa
nyaman dengan adanya hutang yang “melilit’ dirinya. Bahkan, sebagian dari
mereka di dalam hidupnya tidak pernah sedetik pun ingin lepas dari hutang.
Sebelum lunas pinjaman yang pertama, maka dia ingin meminjam lagi untuk yang
kedua, ketiga dan seterusnya.
Jika
hal ini dibiarkan, maka ini akan berlarut-larut dan akan “menular” kepada orang
lain di sekitarnya. Terlebih lagi, dengan banyaknya fasilitas untuk berhutang
yang disediakan oleh lembaga-lembaga, badan-badan atau perusahaan-perusahaan
yang menganut sistem ribawi. Dan parahnya, tidak hanya orang-orang awam yang
terlibat dengan hal-hal seperti ini, orang yang sudah lama mengaji, orang
berilmu dan orang-orang kaya pun turut berpartisipasi dalam “meramaikannya”. Na’uudzu
billaahi min dzaalika.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam sangat takut berhutang dan sangat takut jika hal
tersebut menjadi kebiasaannya. Mengapa demikian?
Diriwayatkan
dari ‘Aisyah radhiallaahu ‘anhaa, bahwasanya dia mengabarkan, “Dulu
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa di
shalatnya:
( اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ)
“Ya
Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal
dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya
aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berhutang“
Berkatalah
seseorang kepada beliau:
( مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ؟ )
“Betapa
sering engkau berlindung dari hutang?”
Beliau
pun menjawab:
( إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ, حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. )
“Sesungguhnya
seseorang yang (biasa) berhutang, jika dia berbicara maka dia berdusta, jika
dia berjanji maka dia mengingkarinya” (HR Al-Bukhaari no. 832 dan Muslim
no. 1325/589)
Perlu
dipahami bahwa berhutang bukanlah suatu perbuatan dosa sebagaimana telah
disebutkan. Tetapi, seseorang yang terbiasa berhutang bisa saja mengantarkannya
kepada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah subhaanahu
wa ta’aala. Pada hadits di atas disebutkan dua dosa akibat dari kebiasaan
berhutang, yaitu: berdusta dan menyelisihi janji. Keduanya adalah dosa besar
bukan?
Mungkin
kita pernah menemukan orang-orang yang sering berhutang dan dililit oleh
hutangnya. Apa yang menjadi kebiasaannya? Bukankan orang tersebut suka
berdusta, menipu dan mengingkari janjinya? Allaahumma innaa na’udzu
bika min dzaalika.
Memberi
Jaminan Ketika Berhutang
Mungkin
di antara pembaca ada yang mengatakan, “Bukankan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam sendiri berhutang?”
Ya,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhutang karena
sangat membutuhkan hal tersebut pada saat itu. Coba kita perhatikan dengan
seksama hadiits yang telah disebutkan. Bukankan yang dihutangi
oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah makanan?
Jika benar-benar memiliki kebutuhan, maka hal tersebut bukanlah sesuatu yang
tercela.
Tetapi
perlu diingat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
melakukan hal yang mulia ketika beliau berhutang. Apakah hal yang mulia
tersebut? Beliau menggadaikan baju besinya sebagai jaminan. Apabila beliau
tidak mampu membayarnya, maka baju besi itulah yang menjadi pembayarannya.
Begitulah
seharusnya yang kita lakukan ketika berhutang. Kita harus memiliki jaminan dalam
berhutang. Jaminan-jaminan tersebut bisa berupa:
- Harta yang dimiliki
Misalkan seseorang ingin membeli motor, dia memiliki uang di simpanannya sebanyak Rp 15 juta. Uang tersebut tidak berani dia keluarkan, karena menjadi simpanan usahanya yang harus di sisakan di simpanan bisnisnya, untuk berjaga-jaga dalam permodalan atau karena hal-hal lain. Kemudian orang tersebut membeli motor dengan kredit seharga Rp 15 juta kepada seseorang dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Hal seperti ini tidak tercela, karena seandainya dia
meninggal, maka dia memiliki jaminan harta yang ada di simpanannya.
- Menggadaikan barang (Ar-Rahn)
Hal ini telah dijelaskan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
- Mengalihkan hutang kepada
piutang yang dimiliki (Al-Hawaalah/Al-Hiwaalah)
Misalkan si A memiliki piutang (orang lain [si B] berhutang kepadanya) sebesar Rp 5 juta, kemudian orang tersebut ingin berhutang kepada si C sebesar Rp 5 juta. Si A mengatakan kepada si C, “Bagaimana menurutmu jika piutangku pada si B menjadi jaminan hutang ini.” Kemudian si C pun menyetujuinya. Maka hal tersebut juga tidak tercela dan pengalihan seperti ini diperbolehkan di dalam Islam. Seandainya si A meninggal, maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab si B untuk membayarkannya kepada si C.
- Mencari penanggung jawab atas
hutang yang dimiliki (Al-Kafaalah)
Misalkan seseorang membutuhkan biaya yang sangat besar secara mendadak, seperti: biaya operasi yang diakibatkan oleh kecelakaan. Orang tersebut tidak memiliki uang atau harta sebagai jaminannya. Pihak rumah sakit meminta orang tersebut mencari seorang penanggung jawab (kafil) atas hutangnya tersebut. Seandainya orang tersebut kabur atau meninggal dunia, maka penanggung jawabnyalah yang membayarkan hutangnya kepada rumah sakit. Hal ini diperbolehkan dengan syarat penanggung jawab tersebut mampu untuk membayarkan hutangnya atau mampu mendatangkan orang yang berhutang tersebut apabila dia kabur.
Keburukan
Jika Hutang Tidak Sempat Dilunasi
Jika
tidak memiliki jaminan-jaminan yang telah disebutkan di atas, sebaiknya jangan
membiasakan diri untuk berhutang. Karena orang yang meninggal sedangkan dia
memiliki tanggungan hutang, maka dia akan mendapatkan banyak keburukan.
Setidaknya penulis sebutkan tiga keburukan pada tulisan ini.
Keburukan pertama: Tidak dishalati
oleh tokoh-tokoh agama dan masyarakat
Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak menshalati jenazah yang memiliki hutang.
( عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ –رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ– قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ –صلى الله عليه وسلم– إِذْ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا ، فَقَالَ : (( هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )), قَالُوا: لاَ، قَالَ: (( فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا ؟ )), قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: (( هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )) قِيلَ : نَعَمْ ، قَالَ: (( فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟ )) قَالُوا : ثَلاَثَةَ دَنَانِيرَ، فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ أُتِيَ بِالثَّالِثَةِ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: (( هَلْ تَرَك شَيْئًا؟ )) قَالُوا : لاَ، قَالَ: (( فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )) قَالُوا: ثَلاَثَةُ دَنَانِيرَ ، قَالَ: (( صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ))، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُولَ اللهِ، وَعَلَيَّ دَيْنُهُ، فَصَلَّى عَلَيْهِ.)
Diriwayatkan
dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiallaahu ‘anhu, dia berkata, “Dulu
kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian didatangkanlah seorang jenazah. Orang-orang yang membawa jenazah itu
pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’
Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan
harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian beliau pun
menshalatinya. Kemudian didatangkan lagi jenazah yang lain. Orang-orang yang
membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia
punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ya.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia
meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’
Kemudian beliau pun menshalatinya. Kemudian didatangkanlah jenazah yang
ketiga. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun
bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab,
‘Tidak.’Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab,
‘Ada tiga dinar.’ Beliau pun berkata, ‘Shalatlah kalian kepada sahabat kalian! Kemudian
Abu Qatadah pun berkata, ‘Shalatilah dia! Ya Rasulullah! Hutangnya menjadi
tanggung jawabku.’ Kemudian beliau pun menshalatinya.” (HR Al-Bukhaari no.
2289)
Hadits di atas jelas sekali menunjukkan bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalati
orang yang punya hutang. Hal ini sebagai bentuk pengajaran beliau bahwa
membiasakan diri untuk berhutang sedangkan dia tidak memiliki jaminan adalah
sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, sudah selayaknya orang-orang terpandang,
tokoh masyarakat dan agama melakukan hal seperti ini ketika ada orang yang
meninggal dan dia memiliki tanggungan hutang.
Keburukan kedua: Dosa-dosanya
tidak akan diampuni sampai diselesaikan permasalahannya dengan orang yang
menghutanginya
Diriwayatkan
dari Abu Qatadah radhiallaahu ‘anhu dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bahwasanya seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
( أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ ؟)
“Bagaimana
menurutmu jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan diampuni?”
Beliau
pun menjawab:
( نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ )
“Ya,
dengan syarat engkau sabar, mengharapkan ganjarannya, maju berperang dan tidak
melarikan diri, kecuali hutang. Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam baru
memberitahuku hal tersebut” (HR Muslim no. 4880/1885)
Hadits di atas menjelaskan bahwa ibadah apapun, bahkan
yang paling afdhal sekalipun yang merupakan hak Allah tidak
bisa menggugurkan kewajiban untuk memenuhi hak orang lain.
Keburukan ketiga: Ditahan untuk
tidak masuk surga, meskipun dia memiliki banyak amalan sampai diselesaikan
permasalahannya dengan orang yang menghutanginya
Diriwayatkan
dari Tsauban, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( مَنْ مَاتَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ: الْكِبْرِ, وَالْغُلُولِ, وَالدَّيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ )
“Barang
siapa yang mati sedangkan dia berlepas diri dari tiga hal, yaitu: kesombongan, ghuluul (mencuri
harta rampasan perang sebelum dibagikan) dan hutang, maka dia akan masuk surga.
(HR At-Tirmidzi no. 1572, Ibnu Majah no. 2412 dan yang lainnya. Syaikh
Al-Albani mengatakan, “Shahih” di Shahih Sunan Ibni Majah)
Kesimpulan
Oleh
karena, sebelum mengakhiri tulisan ini, ada beberapa hal yang ingin penulis
nasihatkan untuk diri penulis dan pembaca sekalian:
- Janganlah membiasakan diri
untuk berhutang. Terutama berhutang yang tidak memiliki jaminan.
- Fasilitas untuk berkecimpung
di dalam riba sangatlah banyak sekali di zaman ini. Oleh karena itu,
janganlah kita biarkan diri kita berkecimpung di dalamnya! Diriwayatkan
dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
( لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا ، وَمُوكِلَهُ ، وَشَاهِدَهُ ، وَكَاتِبَهُ.)
“Allah melaknat pemakan riba, yang memberi makan,
saksi dan juru tulisnya” (HR Ahmad no. 3725. Syaikh Syu’aib mengatakan, “Shahih
li ghairih.”)
- Apabila ingin berhutang, maka
niatkanlah dengan hati yang jujur untuk segera melunasi hutang tersebut
pada waktu yang telah dijanjikan. Insya Allah, Allah akan membantu
pelunasannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ.)
“Barang siapa meminjam harta manusia dan dia ingin
membayarnya, maka Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang meminjamnya dan
dia tidak ingin membayarnya, maka Allah akan menghilangkan harta tersebut
darinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2387)
- Apabila telah sampai batas
waktu yang telah ditentukan, maka segeralah membayar hutang tersebut dan
jangan menunda-nundanya, terkecuali pada saat itu kita tidak memiliki
harta untuk membayarnya. Orang yang memiliki harta untuk membayar
hutangnya, tetapi dia sengaja memperlambat pembayarannya, maka dianggap
sebagai suatu kezoliman/dosa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam :
( مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ )
“Memperlambat pembayaran hutang untuk orang yang
mampu membayarnya adalah kezaliman.” (HR Al-Bukhaari no. 2288 dan Muslim
no. 4002/1564)
- Jika benar-benar tidak mampu
membayar hutang pada waktu yang telah ditentukan, maka bersegeralah
meminta maaf kepada orang yang menghutangi dan minta tenggang waktu untuk
membayarnya.
Demikian
tulisan yang singkat ini. Mudahan bermanfaat untuk kita semua dan mohon
perkenannya untuk menyampaikan kepada yang lain.
Komentar
Posting Komentar