Pengertian Hukum Bisnis Syariah dan sumbernya
Pengertian Hukum Bisnis Syariah dan sumbernya
1. Pengertian
hukum bisnis syariah
Segala usaha manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidup berupa aktifitas produksi, distribusi, konsumsi dan perdagangan
baik berupa barang maupun jasa yang sesuai dengan aturan-aturan dan hukum-hukum
Allah yang terdapat dalam al Qur’an dan as Sunnah.
Walaupun cakupannya luas namun
tujuan hakikinya adalah pertukaran barang dan jasa, dan pertukaran itu
dipermudah oleh medium penukar yaitu uang. Oleh karena itu bisnis dalam pengertian
umum tidak dapat dipisahkan dari uang dan demikian pula sebaliknya.
Bisnis merupakan suatu unsur penting
dalam masyarakat. Hampir semua orang terlibat di dalamnya. Semua membeli barang
atau jasa untuk bisa hidup atau setidak-tidaknya bisa hidup lebih nyaman.Bisnis
pada dasarnya berperan sebagai jalan bagi manusia untuk saling memenuhi
keinginan dan kebutuhannya. Akan tetapi masalah keinginan dan kebutuhan manusia
tak terbatas sedangkan sumber daya yang tersedia terbatas, maka perlu adanya
sistem ekonomi yang harus menjawab tiga pertanyaan dasar, yaitu apa saja yang
perlu diproduksi, bagaimana memproduksinya dan untuk siapa produks iitu.
Hukum bisnis syariah juga diciptakan
untuk menjamin keadilan dan kepastian, serta diharpkan dapat berperan untuk
menjamin ketenraman warga masyarakat dalam mewujudkan tujuan tujuan hidupnya.
Salah satu aspek terpenting dalam uya mempertahankan eksistensi manusia dalam
masyarakat adalah membangun sistem perekkonomian yang dapt mendukung upaya
mewujudkan tujuan hidup itu.[1][1]
Sistem bisnis yang sehat seringkali
bergantung pada sistem perdagangan yang ssehat pula, sehingga masyarakat
membutuhkan seperangkat aturann yang dengan pasti dapat diberlakukan untuk
menjamin terjadinya sistem perdagangan tersebut.
Aturan-atuaran hukum hukum itu
dibutuhkan karena :
a.
Pihak-pihak
yang terlibat dalam persetujuan bisnis itu membutuhkan sesuatu yang lebih kuat
dari pada sekedar janji serta itikad baik saja.
b. Adanya
kebutuhan unuk menciptakan upaya-upaya hukum yang dapat digunakan seandainya
salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya tidak memenuhi janjinya.
2. Sumber Hukum
Bisnis Syariah
a.
Al Quran
Al-Quran adalah sumber pertama dan utama bagi ekonomi
syariah. Al-Qur’an juga memberikan hukum-hukum ekonomi yang sesuai dengan
tujuan dan cita-cita ekonomi Islam itu sendiri. Al-Qur’an memberi hukum-hukum
ekonomi yang dapat menciptakan kesetabilan dalam perekonomian itu sendiri.
Di dalamnya dapat ditemui hal ihwal yang berkaitan
dengan ekonomi dan juga terdapat hukum-hukum dan undang-undang diharamkannya
riba, dan diperbolehkannya jual beli yang tertera pada surat Al-Baqarah ayat
275: “…..padahal Allah telah mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan), dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang
mengulangi (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.”[2][2]
b. Hadits
(As-Sunnah)
Setelah Al-Quran sumber Hukum Ekonomi adala Hadits
(Sunnah) yang mana para pelaku ekonomi dalam hal ini pelaku bisnis akan
mengikuti sumber hukum ini apabila di dalam Al-Quran tidak terperinci secara lengkap
tentangb hukum bisnis tersebut
c.
Ijma’
Ijma’ adalah sumber hukum yang ke tiga, yang mana
merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun cendekiawan Agama yang tidak
terlepas dari Al-Quran dan Hadits (Sunnah).
d. Ijtihad atau
Qiyas
Ijtihad merupakan usaha untuk menemukan sedikit
banyaknyakemungkinan suatu pesoalan syariat. Sedangkan Qiyas adalah pendapat
yang merupakan alat pokok ijtihad yang dihasilkan melalui penalaran analogi.[3][3]
B. Asas Hukum Bisnis syariah
Asas Hukum Bisnis Syariah meliputi :
a.
Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan
luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam Q.S.al-Hadid ayat
4 yang artinya “DIa bersama kamu dimana saja kamu berada, Dan Allah maha
melihat apa yang kamu kerjakan”.Kegiatan muamalah termasuk perbuatan
perjanjian, tidak pernah akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan
demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal itu. Tanggung jawab kepada
masyarakat, Tanggung jawab pada pihak kedua, tanggung jawab terhadap diri
sendiri dan tanggung jawab kepada ALLAH SWT. Akibat dari penerapan asas ini,
manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan
mendapat balasan dari ALLAH SWT.
b. Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya,”Pada dasarnya
segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”. Kaidah
fiqih tersebut bersumber pada dua hadist berikut ini :
Hadist riwayat al Bazar dan at-Thabrni yang artinya:
“Apa-apa yang dihalalkan ALLAH adalah halal, dan
apa-apa yang di haramkan ALLAH adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah
dimaafkan. Maka terimalahdari ALLAH pemaaf-Nya. SUngguh ALLAH itu tidak
melupakan sesuatu.”
Hadist diatas menunjukkan bahwa segala sesuatu adalah
boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar
hokum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa islam member kesempatan luas
kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru
sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.\
c.
Asas keadilan ( Al’Adalah )
Dalam Q.S Al-Hadid ayat 25
disebutkan bahwa Allah berfirman yang artinya”Sesungguhnya kami telah
mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka al-kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksakan keadilan”. Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak
dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadilan,
memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.
d.
Asas persamaan atau Kesetaraan
Hubungan muamalah dilakukan untuk
memenuhi kebutuhana hidup manusia.sering kali terjadi bahwa seseorang memiliki
kelebihan dari yang lainnya.Oleh karena itu sesame manusia masing-masing
memilki kelebihan dan kekurangan.Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan
hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan.
e.
Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq)
Jika kejjuran ini tidak diterapkan
dalam kontrak, maka akan merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan
diantara para pihak. Suatu perjanjian dikatakan benar apabila memiliki
manfaatbagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan
lingkungannya. Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat dilarang.
f.
Asas Tertulis (Al Kitabah)
Suatu
perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai
alat bukti apabila di kemudian hari terdapat persengketaan.
g.
Asas Iktikad Baik (Asas Kepercayaan)
Asas ini dapat disimpulkan dari
pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi, “Perjanjian harus dilaksanakan
dengan iktikad baik”.
h.
Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan
Asas ini mengandung pengertian bahwa
semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan
kemaslahatan baik para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi
masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuan dalam AL-Quran dan
Al-Hadist.
i.
Asas Keseimbangan Prestasi
Yang dimaksud dengan asas ini adalah
asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.
Dalam hal ini dapat diberikan ilustrasi, kreditur mempunyai kekuatan untuk
menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui
harta debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan
perjanjian itu dengan iktikad baik.
j.
Asas Kepribadian (personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang
menentukan bahwa sesorang yang akan melakukan dan atau membuat
kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan.Hal ini dapat dipahami dari bunyi
pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada
umumnya sesorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk
dirinya sendiri.”Dengan demikian asas kepribadian dalam perjanjian dikecualikan
apabila perjanjian tersebut dilakukan seseorang untuk orang lain yang
memberikan kuasa bertindak hokum untuk dirinya atau orang tersebut berwenang
atas nya.[4][4]
C. Urgensi hukum Dalam Hukum Bisnis Syariah
1. Etika, Moral
Dan akhlak
Etika dipahami sebagai seperangkat
prinsip yang mengatur hidup manusia. Berbeda dengan moral, etika merupakan
refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk.
Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian
kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk dan apa alasan pikirnya, merupakan
lapangan etika. Perbedaan antara moral dan etika sering kabur dan cendrung
disamakan. Intinya, moral dan etika diperlukan manusia supaya hidupnya teratur
dan bermartabat.
Nilai etika,moral,susila atau ahklak
adalah nilai-nilai yang mendorong manusia menjadi pribadi yang utuh seperti
kejujuran,kebenaran, keadilan,kemerdekaan, kebahagiaan dan cinta kasih. Apabila
nilai etik ini dilaksanakan akan menyempurnakan hakikat manusia seutuhnya. [5][5]
Etika atau ahklak mempunya kedudukan
yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu, anggota masyarakat
maupun anggota suat bangsa. Kejayaan kemuliaan umat dimuka bui tergantung pada
ahklak mereka, dan kerusakan dimuka bumi ini
tiada lain juga disebabkan oleh kebejatan ahklak manusia itu sendiri.
Orang yang menyalahi etika akan
berhadapan dengan sanksi masyarakat berupa pengucilan dan bahkan pidana. Bisnis
merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia. Sebagai bagian
dari kegiatan ekonomi manusia, bisnis juga dihadapkan pada pilihan-pilihan
penggunaan faktor produksi. Efisiensi dan efektifitas menjadi dasar prilaku
kalangan pebisnis. Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah etika bisnis
dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Ekonomi klasik banyak
berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak terkait dengan etika. Dalam ungkapan
Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis
belaka. Atas nama efisiensi dan efektifitas, tak jarang, masyarakat
dikorbankan, lingkungan rusak dan karakter budaya dan agama tercampakkan.
2. Urgensi
Hukum Dalam Bisnis Syariah
Ada dua hal penting dalam kehidupan
yang sejatinya tidak boleh lepas yang satu dari yang lain, yaitu aktivitas
bisnis dan aturan hukum. Bisnis merupakan bagian dari aktivitas manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Rasanya idaklah mungkin, dlam komunitas manusia,
lepas dari aktivitas bisnis ini, dimanapun dan kapanpun saja. Hanya saja,
bagaimanapun saja aktivita bisnis tidak boleh lepas dari kendali hukum yang
mengatur atau memberi rambu-rambu yang harus ditaati oleh para pelaku. Karena
bisnis tanpa aturn yang jelas pasti aan terjadi distorsi kehidupan yang
merugikan masyarakat.[6][6] Keterpurukan ekonomi nasional pada
prinsipnya karena supremasi hukum di Indonesia sangat lemah. Para pelaku
ekonomi (bisnis) melaksanakan profesinya seakan-akan lebih banyak dipandu oleh
keinginan masing-masing.
Banyak kasus pelanggaran hukum
bisnis di Indonesia yang berpotensi merugikan negara dan bangsa, antara lain
kasus illegal logging dan pencucian uang seperti yang dilakukan Direktur
Keuangan PT Keang Nam Developmeng Indonesia (PT KNDI), Adelin Lis.[7][7]
UU Antimonopoli merupakan
undang-undang universal yang berlaku di setiap negara, terutama negara maju.
Tentu dengan varian-varian yang sedikit berbeda tergantung dari kondisi negara
tersebut. Tetapi nilainya tetap sama, yakni untuk menvegah penguasaan kelompok
bisnissehingga bisa menguasai pasar dan mengontrol harga.
Dikatakan bahwa singapura menjadi
maju, salah satunya karena hukum dijalankan dengan konsisten. Artinya di negara
pulau itu supremasi hukum benar-benar ditegakkan. Sebagai warga bangsa-bangsa
di Dunia, seyogyanya bangsa Singapura harus menghormati hukum yang berlaku.
Sama halnya, seorang warga negara yang berprofesi sebagai pebisnis harus taat
hukum Islam (syariat) yang diyakininya. Khusus untuk hukum agam ini paling
tidak susah menyentuh wilayah halal dan haram. Dalam arti, haram dilakukan
menurut hukum Islam karena praktik itu jelas mengundang ketidakadilan dan
merugikan masyarakat konsumen.
Menurut kacamata hukum islam,
praktik pencucian uang jelas haram hukumnya, karena termasuk mengambil hak
orang banyak (mencuri) yang seharusnya dilindungi. Menguasai hak milik komunal
sama halnya dengan merampas hak orang lain, oleh karena itu sangat dilarang
oleh hukum islam. Inilah Illat (alasan) diharamkannya praktik illegal logging
menurut ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT.[8][8]
Sesungguhnya konsep halal dan haram
adalah sebuah konsep yang membuat ketenangan bagi akal dan hati nurani setiap
Muslim. Seorang muslim yakin benar, bahwa ia akan ditanya di hadapan Allah
tentang hartanya, dari mana ia mendapatkannya dan untuk apa harta itu
dipergunakan? Ia tidak boleh tidak – harus mempersiapkan jawaban terhadap
pertanyaan tersebut. Islam tidak memberikan toleransi pada usaha yang haram,
kendati dibalik usaha tersebut terdapat tujuan yang terpuji dalam pandangan
syariat. Maksudnya, islam menolak orang yang menggunakan riba sekalipun dengan
tujuan membangun masjid untuk ibadah, madrasah untuk lembaga pendidikan, rumah
sakit untuk mengobati orang sakit, panti asuhan untuk mendidik anak yatim, dan
lain sebagainya. Islam selalu menetapkan garis linier antara motivasi (niat)
dengan tujuan (goal) yang ingin diraih yang seringkali berkedok demi ibadah.
Menurut Mustaq Ahmad, al-Quran telah
meletakkan konsep dasar halal dan haram yang berhubungan dengan transaksi
dengan kaitan dengan akuisisi, disposisi, dan semacamnya. Semua hal yang
berhububfab dengan harta benda hendaknya dilihat dan dihukumi dengan dua
kriteria halal dan haram ini. Orang-orang Makkah yang hidup di zaman Rasulullah
SAW sama sekali tidak membedakan antara bisnis dan riba. Bagi mereka keduanya
adalah sama. Akhirnya al-Quran membangun konsep halal dan haram dengan
penegasan bahwasanya bisnis adalah dihalalkan, sedangkan riba diharamkan. Pengharaman riba apapun bentuk dan namanya karena
merupakan kedzaliman terhadap terhadap orang lain sehingga mencederai rasa
keadilan. Sebab itu semua bentuk transaksi yang dilakukan dengan praktik jahat
dilarang oleh islam. Semua larangan itu berdasarkan pada satu prinsip : “Jangan
ada ketidakadilan dan jangan ada penipuan dalam segala aktivitas bisnis yang
dilakukan oleh siapapun”. Hal ini wajib diperhatikan karena distribusi kekayaan
itu harus merata dan berkeadilan dalam masyarakat.[9][9]
Justru karena itu untuk menghindari
praktik bisnis kotor yang melawan hukum yang sekarang lagi marak di berbagai
belahan dunia (mengglobal), patut dilakukan upaya pemahaman dan penyadaran
secara massif dan sistemik. Salah satu instrumen yang bisa dijadikan sarana,
antara lain melalui proses pendidikan dengan menjadikan hukum bisnis sebagai
salah satu muatan kurikulum yang wajib diajarkan. Di sinilah arti penting
eksistensi peraturan dalam aktivitas bisnis untuk mengantisipasi distorsi hukum
yang banyak merugikan kepentingan masyarakat luas.
PENUTUP
Kesimpulan
Segala usaha manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidup berupa aktifitas produksi, distribusi, konsumsi dan perdagangan
baik berupa barang maupun jasa yang sesuai dengan aturan-aturan dan hukum-hukum
Allah yang terdapat dalam al Qur’an dan as Sunnah.
Sumber Hukum Bisnis Syariah adalah
Al-Qur’an, Hadits (As-Sunnah), ijma’, dan Ijtihad atau Qiyas. Asas Hukum Bisnis
Syariah meliputi, Asas Ilahiah atau
Asas Tauhid, Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah), Asas keadilan ( Al’Adalah ),
Asas persamaan atau Kesetaraan, Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq), Asas
Tertulis (Al Kitabah), Asas Iktikad Baik (Asas Kepercayaan), Asas Kemanfaatan
dan Kemaslahatan, tidak terdapat ketentuan dalam AL-Quran dan Al-Hadist,
Asas Keseimbangan Prestasi, Asas
Kepribadian (personalitas).
Nilai etika,moral,susila atau ahklak
adalah nilai-nilai yang mendorong manusia menjadi pribadi yang utuh seperti
kejujuran,kebenaran, keadilan,kemerdekaan, kebahagiaan dan cinta kasih. Apabila
nilai etik ini dilaksanakan akan menyempurnakan hakikat manusia seutuhnya.
Ada dua hal penting dalam kehidupan
yang sejatinya tidak boleh lepas yang satu dari yang lain, yaitu aktivitas
bisnis dan aturan hukum. Bisnis merupakan bagian dari aktivitas manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Rasanya idaklah mungkin, dlam komunitas manusia,
lepas dari aktivitas bisnis ini, dimanapun dan kapanpun saja. Hanya saja,
bagaimanapun saja aktivita bisnis tidak boleh lepas dari kendali hukum yang
mengatur atau memberi rambu-rambu yang harus ditaati oleh para pelaku. Karena
bisnis tanpa aturn yang jelas pasti aan terjadi distorsi kehidupan yang
merugikan masyarakat. Keterpurukan ekonomi nasional pada prinsipnya karena
supremasi hukum di Indonesia sangat lemah. Para pelaku ekonomi (bisnis) melaksanakan
profesinya seakan-akan lebih banyak dipandu oleh keinginan masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Djakfar, Muhammad. 2009. Hukum Bisnis, Malang :
Malang Press
Hasan, Ali. 2009. Manajemen
Bisnis Syariah, Yogyakarta: pustaka Pelajar
http://www.islamcendekia.com/2014/02/hukum-ekonomi-islam-dalam-sumber-hukum-al-quran.html, diakses
tanggal 11 Maret 2015
http://www.slideshare.net/ekabaguswibawa/makalah-syariah, di akses
tanggal 11 Maret 2015
http://kacangturki.blogspot.com/2013/03/pengertian-asas-hukum-bisnis-islam-dan.html, diakses
tanggal 11 Maret 2015
Sewu, Lindawaty. 2004. Hukum Bisnis
Dalam Persepsi Manusi Moderen, Bandung: Refika Aditama
[1][1] Lindawaty , sewu,
Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusi Moderen ( Bandung: Refika Aditama,
2004), hlm26
[2][2] http://www.islamcendekia.com/2014/02/hukum-ekonomi-islam-dalam-sumber-hukum-al-quran.html,
diakses tanggal 11 Maret 2015
[4][4] http://kacangturki.blogspot.com/2013/03/pengertian-asas-hukum-bisnis-islam-dan.html,
diakses tanggal 11 Maret 2015
[6][6] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis,( Malang : Malang
Press, 2009),hlm , 33
[7][7] Ibid., hlm. 34.
[8][8] Ibid., hlm. 37.
[9][9] Ibid., hlm. 38-39.
Komentar
Posting Komentar